Loading...

“Reviving the World’s Maritime Culture through Spice Route as Common Heritage”

International Forum on Spice Route (IFSR) adalah sebuah forum yang membuka peluang dialog lintas batas dan lintas budaya dalam meninjau kembali jejak pertukaran antarbudaya berbasis Jalur Rempah yang menjadi pusaka alam dan pusaka budaya warisan bersama (common heritage) dalam lingkup regional. IFSR yang mengambil tema Reviving the World’s Maritime Culture through Spice Route as World Common Heritage ini menjadi sarana untuk memperkenalkan kembali peranan penting Indonesia dalam skala global. Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia.

Forum international pertukaran pengetahuan antarbudaya melalui narasi Jalur Rempah yang diinisiasi oleh Yayasan Negeri Rempah ini terbagi dalam kegiatan kuliah umum, diskusi panel, sesi berbagi, bedah buku, pameran, bazaar, dan temu komunitas.

Tema Diskusi:

  • Telaah historis - budaya maritim berbasis jalur rempah dan pertukaran antarbudaya:
    • Akar budaya maritim;
    • Keanekaragaman rempah dan penyebarannya;
  • Adaptasi manusia terhadap dinamika perubahan:
    • Interkonektivitas budaya maritim dan budaya agraris;
    • Perubahan iklim dan kebencanaan;
    • Perkembangan teknologi kemaritiman;
    • Pemanfaatan sumber daya, pelestarian warisan alam dan budaya.

Pembicara: 

  1. Prof. Gene Ammarell (USA)  
  2. Dr. Horst Liebner (Jerman)
  3. Prof. Dr. Daniel Rosyid (Indonesia)  

Moderator: Andrea Abdul Rahman Azzqy, M.Si.

 

Dr. Horst Liebner dan Prof. Gene Ammarell mengkaji bahwa masyarakat maritim yang ada di Indonesia memiliki beragam pengetahuan tentang pembuatan kapal. Kapal yang dihasilkan juga merupakan hasil budaya yaitu teknologi. Pembuatan kapal dari mulai bentuk sederhana hingga kompleks yang kaya. Lalu Prof. Dr. Daniel Rosyid juga melengkapi mengenai perkembangan pendidikan kapal saat ini. Namun yang disayangkan dengan kondisi saat ini adalah ketika mahasiswa teknik perkapalan tidak terlalu diajarkan mengenai teknik perkapalan tradisional – yang padahal kaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pembicara: 

  1. Dr. Dino R. Kusnadi (Kementerian Luar Negeri RI) 
  2. Zainab Tahir, M.Sc. (Kementerian Kelautan dan Perikanan RI)
  3. Bernadette ES. Mayasanti (Kementerian Perhubungan RI)

Moderator: Aisha Kusumasumantri, M.Si.

 

Ketiga panelis memaparkan kepentingan yang berbeda, pada intinya jalur sutra sebagai bagian dari teritori laut Indonesia memiliki banyak fungsi. Fungsi ‘jalur rempah’ atau biasa disebut poros maritim antara lain sebagai jalur transportasi, sebagai wilayah dimana ‘harta karun’ banyak terkumpul, dan juga potensi untuk dikenalkan pada dunia internasional utamanya negara-negara Eropa. Oleh karena itu bidang-bidang dari berbagai kemerntrian harus sinergis dan saling mendukung untuk tercapainya kepentingan yang memajukan Bangsa Indonesia.

Pembicara: 

  1. Rodne Galicha, Ph.D. (Philippines)  
  2. Aditya Pundir, Ph.D. (India)
  3. Amanda Katili Niode, Ph.D. (Indonesia)  
  4. Dr. Dedi S. Adhuri (Indonesia)  

Moderator: Sarilani Wirawan

 

Bencana alam dan perubahan iklim ekstrem berpengaruh besar terhadap kehidupan maritim dan produksi sumber daya pangan, khususnya produksi rempah di Indonesia, Filipina, dan India. Negara-negara yang dikelilingi oleh lautan seharusnya sadar akan kondisi geografis nya lalu melakukan strategi adaptasi serta mitigasi. Keberadaan jalur rempah yang membuka interkoneksitas antar negara-negara yang penuh keragaman itu seharusnya menjadi pemersatu untuk bersama-sama menghadapi bencana alam dan perubahan iklim ekstrem. Solusi mitigasi dan adaptasi yang ditawarkan dalam menghadapi persoalan ini tidak hanya dengan mengurangi konsumsi energi, tapi bisa juga dengan mengganti sumber energi menjadi energi yang lebih ramah lingkungan serta memproduksi atau mengembangkan sumber daya serta energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

 

 

Pembicara: 

  1. Prof. Dr. Etty R. Agoes  
  2. Dr. Hassan Wirajuda  

Moderator: Beginda Pakpahan, Ph.D.

 

Konfigurasi negara di Asia Tenggara pascakolonialisme terbagi menjadi tiga karakteristik berbeda yakni (1) sejumlah negara yang tidak memiliki laut seperti Kamboja dan Laos (2) sejumlah negara yang memiliki laut tapi tidak bisa berbuat banyak dalam klaim pemanfaatan sumber daya laut seperti Malaysia dan Myanmar (3) negara kepulauan dengan sumber daya laut yang luas seperti Indonesia dan Filipina. London Treaty pada tahun 1824 membagi wilayah Asia Tenggara kedalam negara-negara berdasarkan wilayah jajahan. Luasnya wilayah perairan Indonesia saat ini – yang disepakati berdasarkan London Treaty – keseluruhannya diatur di Batavia sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda. Padahal, sesungguhnya wilayah perairan nusantara ketika Sriwijaya dan Majapahit berkuasa jauh lebih besar. Secara etimologis, Indonesia memang terbayangkan sebagai negara yang erat kaitannya dengan sumber daya air. Dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya, disebut ‘tanah air’ yang padanan katanya bahkan tidak ditemukan dalam bahasa Inggris. Paradigma pembangunan Indonesia menuju negara poros maritim dunia terus diupayakan melalui diplomasi internasional agar Indonesia mampu memanfaatkan potensi sumber daya air secara maksimal. Klaim terhadap wilayah kedaulatan air terus dilakukan tidak hanya oleh Indonesia sebagai negara kepulauan (menuju maritim), tetapi juga negara lain di dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa sumber daya air merupakan objek vital tidak hanya sebagai infrastruktur transportasi tetapi juga sumber daya yang terkandung di dalamnya.

Pembicara:

Prof. Dr. Singgih Tri Sulistyono

 

Arah pembangunan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia selayaknya berefleksi pada dua hal. Pertama, refleksi terhadap kunci keberhasilan dan kehancuran pada sejarah ketika nusantara, Sriwijaya dan Majapahit, berkuasa dan berperan sentral dalam perdagangan rempah dunia. Kedua, arah pembangunan poros maritim Indonesia apakah berpihak kepada rakyat atau ekspansi ekonomi asing. Secara konsep, merujuk pada Indonesia sebagai negara kepulauan saat ini, terdapat perbedaan antara negara kepulauan dan negara maritim. Negara kepulauan cenderung bersifat given, Indonesia dikaruniai gugusan pulau-pulau dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sementara negara maritim lebih menitikberatkan bagaimana pengelolaan negara mampu memperoleh manfaat dari sumber daya air yang ada secara maksimal. Dalam refleksi sejarah, terdapat beberapa faktor yang menjadi kunci sukses keberhasilan negara maritim: (1) kemampuan produksi komoditas yang dibutuhkan pasar internasional; (2) kemampuan mengontrol dan menguasai kawasan strategis; (3) kemampuan menyinergikan potensi darat dan laut [tidak ada dikotomi antara darat dan laut]; (4) kemampuan (armada) infrastruktur kemaritiman; dan (5) kemampuan dalam kontrol dan negosiasi dengan orang asing. Di sisi lain, interupsi kekuasaan dan kekuatan kolonialisme yang kemudian melakukan monopoli perdagangan merupakan benang merah dari hancurnya kejayaan maritim nusantara di masa lalu, “kunci kegagalan adalah perpecahan dan intrik internal, ketika ada orang atau kelompok tertentu bekerja sama dengan asing untuk kepentingan mereka sendiri”. Paradigma pembangunan negara maritim harus terejawantahkan dalam berbagai elemen penggerak negara.

Pembicara: 

  1. Prof. Dr. IBG. Yudha Triguna 
  2. Dr. Jajang Gunawijaya  

Moderator: Putu Fajar Arcana

 

Dalam panel ini terlihat bahwa bagaimana seharusnya hubungan seksual menjadi sesuatu yang suci, yang mulia, yang bertujuan mencapai kebahagiaan, bukan sesuatu yang tabu. Karena ia suci, maka butuh perawatan yang bisa dicapai melalui pengetahuan tentang seksualitas. Pengetahuan itu bisa didapat dari lontar Kama Tattwa yang berbentuk tulisan dan juga tradisi lisan atau folklore. Di dalam kedua hasil budaya itu, bisa dilihat peran rempah-rempah sangat berarti dalam kehidupan seksualitas manusia Indonesia.

Pembicara: 

  1. Prof. Antonio Vasconcelos de Saldanha (Portugal)
  2. Dr. Park Jae-Hyun (Korea)  

Moderator: Dr. Maulana Ibrahim

 

Jalur maritim, jalur pertukaran atau perdagangan, dan jalur rempah bukan hanya membentuk identitas dan bangsa Indonesia saja. Sejarah pelayaran yang disebutkan dengan berbagai terminologi itu juga sebenernya penting dalam pembentukan negara-negara yang berlayar melewati jalur-jalur tersebut, misalnya Portugal dan Jepang. Kalau kita melihat jalur pelayaran dalam konteks global, logika yang terus berlanjut sampai saat ini ialah pemanfaatan jalur pelayaran sebagai ruang untuk perdagangan atau ekspor dan impor. Padahal, banyak peluang lain yang bisa dimanfaatkan dari jalur pelayaran, mulai dari perpindahan manusia, pertukaran kebudayaan, dan yang paling penting ialah diplomasi. Jalur maritim dan sejarah yang terbentuk karenanya seharusnya tidak hanya sekedar untuk dirayakan bersama, namun menjadi sebuah kesempatan atau peluang untuk bernegosiasi dan bekerja sama.

Pembicara: 

  1. Dr. Junus Satrio Atmodjo  
  2. Sonny Ch. Wibisono, DEA.  

Moderator: Dr. Bondan Kanumoyoso

 

Jalur maritim dan segala aktivitas yang terjadi di laut, termasuk perdagangan tidak selalu terjadi di laut dan pesisir pantai saja. Perdagangan melalui jalur maritim ternyata membentuk jaringan masyarakat yang mencakup masyarakat pesisir dan masyarakat pedalaman. Sungai dan rawa-rawa seharusnya juga termasuk sebagai bagian dari jalur maritim. Dalam memahami pembentukan bangsa Indonesia sebagai negara atau poros maritime perlu dilakukan analisis satu per satu wilayah-wilayah pesisir Indonesia serta jaringannya dengan pemukiman di pedalaman.

Pembicara: 

  1. Prof. Dr. Hanafi Hussin (Malaysia)
  2. Prof. Dr. Rusmin Tumanggor (Indonesia)
  3. Dr. Ninie Susanti (Indonesia)

Moderator: Dr. Junus Satrio Atmodjo

 

Perdagangan rempah dunia berpengaruh terhadap perkembangan budaya dan sistem pemerintahan pada kawasan geografis jalur perdagangan yang dilaluinya. Salah satu warisan perubahan sosial yang diturunkan dari jalur perdagangan rempah adalah Indianization dari para Gujarat India. Pada konteks ini, konsep the mandala (pengaruh kekuasaan yang berpusat dan tersentralisasi) merupakan proyeksi dari terbentuknya struktur kekuasaan berbagai kerajaan (kemudian formasi negara) yang muncul di Asia Tenggara, termasuk Nusantara. Lebih lanjut, Angkor Wat dan Borobudur sebagai representasi the mandala menjadi ikon dalam terbentuknya nation pride pada formasi negara. Perdagangan rempah, dengan pemanfaatannya yang bernilai tinggi, membuat rempah dapat menghasilkan keuntungan ekonomi luar biasa. Hal ini mendorong rempah menjadi komoditas bisnis dari hulu hingga hilir dan mendunia, namun tidak semua negara memiliki sumber daya rempah sehingga terdapat dua kemungkinan sistem ekonomi yang mungkin tercipta yakni kolonialisme dan fair trade system. Pembahasan berbeda dapat dilakukan dengan melihat bagaimana Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit mengembangkan hegemoni kekuasaan terhadap komuni-komuni di sekitarnya agar dapat andil dalam perdagangan rempah tetapi tetap dalam pengaruh kekuasaan dua kerajaan tersebut. Hegemoni kekuasaan dalam perdagangan rempah di Nusantara berawal dari konsep the mandala yang dibawa oleh Gujarat India. Berbagai temuan prasasti di dua wilayah kerajaan tersebut mendukung pernyataan bahwa Sriwijaya dan Majapahit memiliki kekuasaan yang terus direproduksi sebagai ingatan bersama (collective memory) atas komuni-komuni di sekitarnya, memperkuat pengaruh dan otoritas atas jalur perdagangan rempah Nusantara.

Pembicara:

Prof. Dr. Susanto Zuhdi

 

Kota bandar (pelabuhan), jalur perdagangan rempah, dan struktur negara masing-masing memiliki keterkaitan erat dalam menjelaskan bagaimana keadaan sosial-pemerintahan pada saat ini sangat dipengaruhi perdagangan rempah-rempah dan fungsi kota pelabuhan dengan peranan sentralnya. Sejauh ini, penamaan kota Bandar Lampung mengindikasikan fungsi sebagai kota pelabuhan yang terintegrasi dengan jalur perdagangan rempah di Asia Tenggara. Narasi sejarah kemaritiman dan perdagangan rempah perlu diperkuat dengan menemukan kembali arti substansial dari terminologi ‘bandar’. Karakteristik masyarakat kosmopolitan identik dengan kota bandar (pelabuhan) karena terkait dengan perdagangan rempah dunia. Penguatan narasi sejarah maritim juga dapat dilakukan dengan menggali kembali sejarah yang terabaikan tentang suatu kawasan geografis nusantara yang memiliki andil penting dalam jalur perdagangan rempah. Dalam konteks state formation, perdagangan rempah-rempah adalah ingatan kolektif yang kuat antar Indonesia dan Malaysia sebelum keduanya berpisah setelah disepakatinya London Treaty tahun 1825.

Pembicara: 

  1. Dr. Junus Satrio Atmodjo  
  2. Dave Lumenta, Ph.D.   

Moderator: Irfan Nugraha, M.Si.

 

Siapakah para pelaut? Rupanya, di balik imajinasi kita atas sosok pelaut yang maskulin, gagah, berani mengarungi lautan, terutama dari belahan Dunia Barat, Dr. Junus Satrio Atmojo dan Dave Lumenta mengungkapkan, sebagian dari pelaut tidak lain adalah para kriminal, orang-orang pelarian dan para budak. Sebabnya, berlaut bukan soal yang mudah. Sekali layar terpasang, baru bertahun-tahun bisa kembali. Tantangan itu menyebabkan, profesi pelaut bukan untuk sembarang orang, namun lebih banyak menarik orang-orang yang punya perilaku kelam, petualang nekad, atau orang-orang yang kebebasannya direnggut paksa. Inilah yang kelak menimbulkan kisah gelap lainnya, pelacuran. Pelabuhan akrab dengan pelacuran. Senantiasa, ada perempuan yang menjajakan tubuhnya. Perjalanan panjang di atas kapal menyebabkan para awaknya yang sebagian besar berperilaku miring membutuhkan tubuh perempuan. Terkisahlah, dalam hikayat Persia, kerinduan para pelaut akan tubuh perempuan yang dapat membuat tidur nyenyak, yang tidak lain merujuk para perempuan bertubuh subur, postur kesenangan para pelaut. Namun, munculnya pelacuran, tidak dapat dilihat dalam pandangan moral yang menyalahkannya semata. Bagaimana pun, kehadiran pelacuran adalah kebutuhan biologis dari para pelaut. Jika tidak direspon, seperti terjadi di catatan sejarah, awak di suatu kapal milik Inggris melakukan pemberontakan akibat dilarang kaptennya melarang awaknya berlabuh demi alasan bercinta. Pandangan serupa terjadi pula dalam perbudakan. Perbudakan yang terjadi sepanjang perdagangan rempah di masa lalu muncul akibat kebutuhan ekonomi, baik untuk mencari tenaga murah atau bahkan menjadikan budak sebagai komoditas. Inilah yang menyebabkan muncul banyak kisah rakyat mengenai tindak tanduk para lanun yang siap menculik anak-anak di sepanjang pesisir untuk menjadi budak.

Terjadinya pelacuran, perbudakan serta kisah kelam lainnya dapat menjadi refleksi dalam memaknai sejarah di masa kini. Sebabnya, berlaut menfasilitasi beragam praktik, tidak saja berdagang, tapi juga orang-orang yang ingin berziarah atau menjauhkan diri dari dominasi kekuasaan. Logika hukum dan moral bagi pelaut belum tentu bisa disamakan dengan norma kehidupan di darat, sebab kebutuhan dan cara bertahan hidupnya harus disesuaikan dengan aktivitas kehidupan di pelabuhan dan laut. Oleh sebab itu, kita harus menghindari pemaknaan sejarah yang seringkali terfokus pada persoalan kronologis, tetapi melupakan hubungan sebab-akibat pada sejumlah peristiwa atau praktik. Fokus pada proses sejarah itu sendiri, bukan pada suatu peristiwa, namun bagaimana menyadari suatu peristiwa dapat berpotensi atau menghasilkan perubahan atas relasi sosial, bahkan menyiptakan kelas dan kelompok masyarakat anyar yang adakalanya mencoba meniru bangsa yang menjajahnya, gaya hidup maupun praktik ekonominya.

Pembicara: 

  1. Ian Burnet, B.Sc. (Australia)
  2. Dr. Daud Aris Tanudirdjo (Indonesia)

Moderator: Hatib Abdul Kadir, Ph.D.

 

Di tengah upaya presiden Jokowi membangkitkan kembali sejarah maritim Indonesia, dalam pandangan Ian Burnett, Indonesia pada dasarnya selalu merupakan negara maritim. Ian Burnett merujuk pada pesebaran bangsa Austronesia dan keturunannya yang kini mendiami bangsa Filipino, Melayu, Indonesia, Mikronesia, Polinesia, Maori hingga Malagasi. Sejarah Indonesia sebagai bangsa maritim pun terus bergulir, terutama ketika bangsa India mulai mengunjungi Indonesia untuk mencari rempah. Buktinya terlihat pada Gambar relief di candi Borobudur yang mengarah ke daratan atau pemukiman menunjukkan bahwa sejak dulu bangsa Indonesia sudah melakukan pelayaran. Perjalanan sejarah terus terjadi sampai kedatangan bangsa Eropa, bermula dari Portugis dan Spanyol, hingga pada akhirnya bangsa Belanda yang memaksa perdagangan monopoli bagi komoditas rempah.

Pandangan selaras dikemukakan pula oleh Daud Aris Tanudirjo. Menurutnya, jaringan pertukaran antar pulau sudah terjadi sejak 40 ribu tahun yang terpicu oleh migrasi penutur Austronesia. Buktinya, banyak ditemukan kemiripan teknologi kelautan yang secara linguistik berasal dari Filipina dan Indonesia bagian utara. Penutur Austronesia kemudian membentuk jejaring pertukaran jarak jauh (misalnya bulu burung, rempah-rempah, dan kayu harum). Bukti-bukti arkeologis di Afrika juga menunjukkan pertukaran jarak jauh. Peradaban kepulauan ini ditandai dengan kesadaran akan keseimbangan daratan dengan lautan à tanah air sebagai sebuah entitas yang tunggal. Selalu memelihara harmoni manusia, tuhan, dan alam. Sikap apa yang harus dilakukan? Multikultural, toleran, inklusif tapi memiliki kecerdasan setempat (local genius). Pola jejaring dendritic di sepanjang jalur rempah yang awalnya untuk menjamin ketersediaan barang dan jasa dengan melibatkan banyak pihak, menumbuhkan watak partisipatoris. Jiwa merdeka (tidak mudah dijajah) dan kosmopolitan (melihat keluar) terbentuk karena pengalaman menjelajah luas dan pertemuan dengan berbagai bangsa.

Pembicara: 

  1. Fadly Rahman, M.Si. (Indonesia)  
  2. Dave Lumenta, Ph.D. (Indonesia)

Moderator: Ibnu Natzier, M.Sc.

 

Perdagangan rempah dunia memiliki andil penting dalam pertukaran budaya serta dinamika komposisi masyarakat yang saling mempengaruhi. Fadly Rahman mengisahkan makanan merupakan salah satu unsur sederhana, namun dapat menjelaskan secara gamblang proses akulturasi budaya yang terjadi dari kelompok masyarakat berbeda. Pertukaran tanaman pangan dari berbagai belahan dunia pada abad pertengahan serta eksplorasi dan perdagangan rempah-rempah dunia telah menciptakan hubungan erat antara nusantara dengan berbagai bangsa dunia seperti India, Cina, Arab, dan Eropa. Kepulauan nusantara pada saat itu, sebagai sentral dari jalur rempah, menghasilkan ragam variasi budaya makanan. Sebagian besar budaya makanan di Indonesia sekarang berasal dari asing. Refleksi mengenai harmonisnya interaksi antar suku bangsa dunia yang terlibat dalam perdagangan rempah dapat terlihat dari sudut pandang budaya makanan (food culture). Dalam hal ini, formasi sosial manusia Nusantara mengalami transformasi dengan terjadinya pernikahan dan kerjasama dagang sepanjang aktivitas perdagangan rempah dilakukan.

Sementara itu, dari sudut pandang lain, Dave Lumenta memandang peran penting komoditas rempah bagi Orang Kenyah yakni: pertama, pemahaman mengenai sirkuit maritim di tengah daratan Kalimantan yang tampak mengisolasi; kedua, mengenali keadaan geomorfologi sungai melalui perjalanan perdagangan; ketiga, pemahaman mengenai logistik perjalanan. Perdagangan rempah tidak hanya menyebabkan komoditasnya saja yang mengalami perpindahan tangan, tetapi juga membentuk jalinan relasi sosial (formasi sosial) yang melibatkan banyak orang dan suku bangsa. Jalur rempah sebagai sebuah warisan, harus berfokus tidak hanya pada komoditas rempahnya saja tetapi yang menarik adalah social arrangement yang ditinggalkan oleh perdagangan ini.

Pembicara: 

  1. Prof. James Fox (Australia)
  2. Prof. Dr. Multamia RMT Lauder (Indonesia)
  3. Prof. Dr. Herawati Sudoyo (Indonesia)

Moderator: Dr. Dedi S. Adhuri

 

Berbagai upaya dalam memperoleh informasi, pemahaman, dan akumulasi pengetahuan mengenai kemaritiman dunia, khususnya Nusantara, telah banyak dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu. Prof. Dr. Multamia RMT Lauder melalui arkeologi, sejarah, dan linguistik dan melalui telisik toponymic, artefak, dokumen, dan prasasti mengenai keberadaan pelabuhan perdagangan rempah khususnya di utara Pulau Jawa. Penemuan pelabuhan itu berperan penting dan fakta atas perdagangan rempah Nusantara di masa lalu. Sementara, Prof. Dr. Herawati Sudoyo berupaya menelusuri jejak perdagangan rempah melalui pendekatan genetika. Rantai distribusi perdagangan rempah berdampak pada sebaran genetika manusia Nusantara. Dalam kesimpulannya, tidak ada genetika dari suatu komuniti di Nusantara yang sepenuhnya murni, melainkan mengandung karakter genetika dari suku bangsa lainnya. Terakhir, Prof Dr. James Fox, melihat bahwa teknologi kemaritiman yang diterapkan oleh penutur Austronesia banyak diadopsi oleh pelaut Eropa pada masa perdagangan rempah. Beliau memberikan gambaran teknologi perahu Austronesia yang digunakan dalam perdagangan rempah dapat berlayar dalam rentang waktu lama.

Pembicara: 

  1. Prof. Dr. Azyumardi Azra (Indonesia) 
  2. Prof. Dr. Tan Chee-Beng (Malaysia)  
  3. Kang Hyun-Joo, Ph.D (Korea)

Moderator: Geger Riyanto, M.Si.

 

Kepulauan Nusantara adalah center of interest saat membahas sejarah kemaritiman dan perdagangan rempah-rempah. Nusantara, sekarang disebut Indonesia, memperoleh keuntungan geografis karena letaknya di antara dua samudera dan dua benua. Kang Hyun Joo, Ph.D (Korean National Maritime Museum) menekankan pentingnya interkoneksitas global sebagai upaya yang sinergis dalam pertukaran penelitian, informasi, dan akumulasi pengetahuan terkait sejarah kemaritiman di berbagai belahan benua, terutama arkeologi bawah laut (underwater archaeology) dan ekskavasi wilayah pesisir. Prof. Dr. Azyumardi Azra menyampaikan, rempah-rempah sebagai komoditas bernilai tinggi sudah dicari sejak 2000 tahun SM. Perkembangannya semakin pesat bersamaan awal mula ekspansi Islam dan dibuatnya pasar bebas dibuat pada masa Dinasti Abasiah. Namun, meski demikian, jalur perdagangan rempah ini hancur ketika negara Eropa berupaya melakukan monopoli pasar. Selain itu, sebagai refleksi, dengan mengambil contoh Jalur Sutra yang digagas Cina menjadi One Belt One Road (OBOR project), beliau mengingatkan betapa sejarah di masa lampau dapat direka-ulang sesuai dengan kepentingan politis suatu negara. Adapun, Prof. Dr. Tan Chee Beng melalui ceramah berjudul Toward Global Connection: Some Thoughts about Spice Routes menyampaikan keterhubungan global dari berbagai wilayah yang menjadi bagian dari jalur perdagangan rempah seperti lada, cengkeh, dan nutmeg.Melalui catatan perjalanan pedagang dan pengembara, beliau mengungkapkan Lada menjadi komoditas paling awal diperjualbelikan di bagian Barat dan Timur, dilanjut oleh cengkeh dan pala dari Maluku. Lebih jauh, beliau juga menjelaskan andil Cina dalam perdagangan bebas global dengan cengkeh pada masa Dinasti Han. Rekam jejak perdagangan rempah dapat ditelisik melalui catatan perjalanan para pedagang, pengembara, diplomat, utusan kerjaan, dan bangkai kapal karam (excavated boat in Guang Zhou). Sebagai contoh, empat perjalanan yang dilakukan oleh Admiral Zheng He ke Jawa, Palembang, Melaka, dan Aceh dalam upaya perdagangan rempah dunia.

Pembicara:

Prof. Dr. Anthony Reid

 

Pertanyaan besar yang disampaikan oleh Anthony Reid ialah mengapa Indonesia tidak melanjutkan pluralisme, kemaritiman, dan keterbukaannya dengan dunia. Indonesia sepertinya tidak terlalu antusias dengan takdirnya sebagai negara maritim atau keturunan dari pelaut. Padahal Nusantara dengan jalur rempah atau perdagangan maritimnya, berperan penting sebagai tempat pertemuan dan terkoneksinya masyarakat global. Pusat pertemuan global di Nusantara juga terlihat dari berkembangnya pengetahuan wawasan dan dunia yang lebih luas, mulai dari ajaran Buddha, Kristen, dan Islam, budaya Cina, Arab, dan Eropa yang nanti pada akhirnya akan mempengaruhi juga keragaman dalam pembentukan kelompok masyarakat di Nusantara. Anthony Reid juga mengajak kita untuk berefleksi dari ketegangan atau pertentangan antara sejarah Nusantara yang sangat global dan kosmopolit dengan keadaan masyarakat Indonesia saat ini yang nasionalis, koheren, dan setia dengan bangsanya.